Jumat, 31 Agustus 2012

SEJARAH SYAHID SYUHADA 44

Pemberontakan terhadap Jepang juga terjadi pada Kamis, 2 Mei 1945. Tengah malam Teungku Pang Akob bersama 40 orang pasukannya dari Lheu Simpang menyerbu tangsi militer Jepang di Pandrah. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Pandrah. 

Pemberontakan terhadap Jepang itu digerakkan oleh Teungku Pang Akob, Teungku Ibrahim Peudada, Teungku Nyak Isa, Keuchik Usman, Keuchik Johan dan Teungku A Jalil. Mereka berdakwah memompa semangat rakyat untuk berperang dengan Jepang.

Jepang yang saat itu memberlakukan kerja paksa, menuia kebencian dari masyarakat. Hal itu dijadikan materi dakwa untuk memberontak. Secara pelahan-lahan rakyat membangkang terhadap kerja paksa yang diberlakukan Jepang. 

Seorang pemuda bernama Nyak Umar, kemenakan Teungku Pang Akob di Desa Meunasah Dayah malah ditangkap karena membangkang menolak kerja paksa. Hal itu memberi dorongan kuat bagi Teungku Pang Akob dalam berdakwah mengkampanyekan jihad melawan Jepang.

Sebelum pemberontakan terjadi, Teungku Pang Akob pergi bertapa ke sebuah gua di Cot Kayee Kunyet, pegunungan Gle Banggalang. Sementara rakyat kampung Leu Simpang dibawah pimpinan Keuchik Johan sudah bersiap-siap untuk menunggu komando perang. 

Nyak Umar yang pernah disiksa Jepang karena menolak kerja paksa, menyamar sebagai penjual obat keliling. Ia berjalan dari satu kampung ke kampung lain sambil membisikkan ajakan-ajakan jihad.

Sementara itu, Muhamamd Daud, seorang pemuda yang melarikan diri dari pendidikan Gygun, melatih para pemuda di Gle Blanggalang untuk berperang melawan Jepang. Ia meninggalkan tempat latihan militernya dibawah didikan Jepang karena ingin bergabung dalam pemberontakan yang akan dilakukan Teungku Pang Akob.

Saat itu Teungku Pang Akob tidak akan melancarkan pemberontakan terhadap Jepang pada tanggal 2 menjelang 3 Mei 1945. Alasannya persiapan belum matang. Tapi karena sudah diketahui Jepang, maka pemberontakan pun dilakukan pada malam menjelang tanggal 3 tersebut.

Rahasia kelompok Teungku Pang Akob diketahui oleh Jepang dibenarkan oleh Said Ahmad dan Abdullah TWH dari Atjeh Syu Hodka (Jawatan Penerangan Aceh) mereka diberitahu dan diminta untuk berangkat ke Jeunieb. Keduanya ditugaskan untuk memberi penerangan kepada masyarakat tentang maksud pemerintah Jepang yang akan memberikan “kemerdekaan” kepada Indonesia termasuk Aceh.

Tapi sebelum Said Ahmad dan Abdullah TWH sampai ke sana, pemberontakan sudah terjadi pada tanggal 2 menjelang 3 Mei 1945. Dalam pertempuran di malam buta tersebut, pasukan Teungku Pang Akob menyerang tangsi militer Jepang di Pandrah. 

Malam itu tidak ada pasukan Teungku Pang Akob yang tewas, sementara tentara Jepang di tangsi itu berhasil di bunuh, kecuali satu orang yang berhasil melarikan diri ke induk pasukan Jepang di Jeunieb. Tujuh anggota Gyugun juga ditangkap di tangsi tersebut, tapi tidak diapa-apakan. Kemungkinan sudah ada kontak terlebih dahulu sebelum penyerangan itu dilakukan.

Setelah penyerbuan tersebut, Teungku Pang Akob dan pasukannya mengundurkan diri ke markasnya di Gle Banggalang untuk bersiap-siap melakukan penyerbuan baru. Meski mengetahui keberadaan Teungku Pang Akob dan pasukannya, Jepang tidak menyerbu tapi menunggu mereka menyerah dan melakukan perjanjian damai. 

Mereka dibujuk untuk turun gunung dan tidak akan dihukum. Said Ahmad dan Abdullah TWH dikirim sebagai utusan untuk upaya damai tersebut. Teungku Pang Akob kepada para utusan tersebut mengatakan akan turun untuk berdamai pada 5 Mei 1945 dan tentara Jepang tidak perlu naik ke Gle Banggalang.

Pagi 5 Mei 1945, para perwira Jepang sudah berkumpul di Meunasah Lheu Simpang bersama satu pasukan siap tempur. Diantara mereka terdapat pejabat beberapa pejabat daerah diantaranya Teuku Yakub, Guntyo Bireuen, Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH dari Atjeh Syu Hodoka.

Mereka berkumpul di Meunasah Lheuh Simpang untuk menunggu kedatangan Teungku Pang Akob dan pasukannya dalam rangka perjanjian damai sebagaimana pernah dijanjikan dua hari sebelumnya.

Para perwira Jepang duduk di Meunasah, sementara pasukan yang siap tempur berjaga-jaga di kawasan tersebut. Tiba-tiba terdengar teriak takbir: Allahu Akbar terdengar membahana terus menerus. Gegap gempita suara takbir tersebut membuat Jepang ketakutan dan kalang kabut.

Dalam kepanikan Jepang tersebut, Teungku Pang Akob dan pasukannya keluar dari alur rimbun yang ditutupi dedaunan. Mereka menyerbu ke perangan meunasah menebas dan menikam tentara Jepang. 

Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH lari menyelamatkan diri dalam sebuah alur yang airnya tidak mengalir (alue siwong). Keduanya baru keluar setelah perang reda. Saat keluar badan mereka menempel puluhan lintah.

Pertempuran itu selain menewaskan para perwira Jepang dan serdadunya, juga Guntyo Bireuen, Teuku Yakub ikut menjadi korban. Menurut Said Ahmad Dahlan dan Abdullah TWH, saat mereka keluar dari alur persembunyian mereka melihat tubuh-tubuh Jepang bergelimpangan bersama pasukan Teungku Pang Akob yang ikut tewas dalam perang tersebut. Kemudian diketahui jumlah pasukan mujahidin yang meninggal berjumlah 44 orang. Sampai kini Teungku Pang Akob dan pasukannya yang tewas itu dikenal sebagai Syuhada 44.

Dampak dari perang di Meunasah Lheu Simpang tersebut, Jepang melakukan penangkapan paksa di Jeunieb terhadap siapa saja yang dicurigai terlibat penyerangan tangsi militer Jepang di Pandrah dan pertempuran di Meunasah Lheu Simpang.

Para pemuda yang ditangkap dan ditawan Jepang sebagiannya setelah melalui proses pemeriksaan dan penyiksaan dibebaskan kembali dalam keadaan babak belur. 24 orang yang dianggap bersalah diangkut ke Medan, 12 diantaranya tidak lagi diperiksa tapi langsung dieksekusi mati di sana. 

Mereka yang dihukum mati itu adalah: Teungku Abdul Wahab Ali, Teungku Usman Yusuf, Teungku Muhammad Yakub, Teungku Abu Thalib, Teungku M Hamzah, Teungku M Husin Bungong, Teungku Agam Cut, Teungku Abdullah, Teungku Harun, Teungku Husin Bin Pawang Usman, Teungku Abdullah Jeumpa Sikureung dan Teungku Abdul Jalil Pang.

12 orang lainya dihukum antara 5 sampai 12 tahun penjara dan dipenjarakan di penjara Pematang Siantar. Enam orang diantara mereka tewas dalam penjara karena mengalami penyiksaan berat. Empat dari orang yang tewas dalam penjara itu adalah Teungku Thalib Beungga, Teungku Badal Husin Peusangan, Teungku Muhammad Aji Yusuf dan Teungku Ilyas Yusuf.

Enam orang lainnya dibebaskan dan kembali ke Aceh setelah Jepang kalah. Mereka adalah Teungku Yahya, Keuchik Muhammad Ali, Teungku Muhammad Ali Tineuboek, Teungku Isham Banta Panjang, Teuku Ibrahim Beungga dan Teungku Muhammad Hasan Ali.

Sementara 44 orang syuhada yang gugur dalam perang melawan Jepang di Meunasah Lheu Simpang, Pandrah pada 5 Mei 1945 adalah: Teungku Siti Aminah, Teungku Ibrahim Meulaboh (suami Teungku Siti Aminah), Teungku Mahmud Ben, Teungku Ismail Rahman, Teungku Sabon Piah, Teungku Usman Lheu, Teungku Muhammad Adam Rifin. 

Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Muhammad Yusuf Gagap, Nyak Abu Bakar Amin, Teungku Muhammad Amin, Teungku Mat Kasim, Teungku Meulaboh, Teungku Muhammad Hasan Banta, Teungku Suleiman Ali, Teuku Nyak Isa, Teungku Kasim, Teungku Muhammad Yakob, Petua Jalil, Teungku Muhammad Yusuf Ben Dayah, Teungku Jalil Ben.

Keuchik Johan, Abu Keuchik Lheu, Muhammad Gam, Teungku Saleh Ismail, Teungku Ismail Ahmad, Teungku Mahmud Bin Abdurrahman, Teungku Ahmad Itam, Teungku Ibrahim Ali, Nyak Umar Adam, Teungku Abdullah Ben, Teungku Sulaiman Lheu, Teungku Ahmad Gampong Blang, Teungku Ahmad Usman. 

Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Ismail Rifin, Teungku Abdullah Gampong Blang, Teungku Saleh Ben Tulot, Teungku Ibrahim Husin, Teungku Suud Tringgadeng, Teungku Saleh Gampong Blang, Teungku Nyak Zulkifli Yusuf, Teungku Saleh Bin Abdurrahman, dan syahid yang ke 44 adalah bayi dalam kandungan Teungku Siti Aminah. [Dari berbagai sumber]

Selasa, 28 Agustus 2012

BEUT KAMULAI LOM.....!!!!


Kegiatan belajar mengajar di dayah Najmussalam sudah kembali seperti biasanya sejak senin 27 Agustus 2012, diharapkan kepada santri yang belum kembali ke dayah agar segera kembali ke dayah mengingat kegiatan belajar - mengajar sudah berjalan seperti biasanya.
Bagi santriwati yang menetapa / Mudangang di ingatkan bahwa keterlambatan kembali ke dayah akan didenda atau bilik santri yang bersangkutan di berikan kepada santri yang baru.
himbau ini kami sampaikan agar dapat dimaklumi.   


                                                                                                                            ttd
                                                                                                                         Pimpinan


Senin, 27 Agustus 2012

           Membenahi Badan Pembinaan Pendidikan Dayah

Oleh Teuku Zulkhairi, S.Pd.I, MA 

Dalam perjalanan sejarah, lembaga pendidikan dayah di Aceh terbukti tahan zaman. Dayah terus eksis dengan atau tanpa bantuan dari pemerintah. Tercatat dalam sejarah bahwa dayah adalah lembaga pendidikan tertua di nusantara. Dayah di Aceh terus menyesuaikan dirinya dengan perkembangan zaman meskipun dihadapkan pada kendala-kendala di lapangan. Itu artinya lembaga pendidikan dayah merupakan lembaga pendidikan yang mandiri dan mampu menghadapi berbagai macam tantangan-tantangan.
Salah satu hal yang menggemberikan dunia pendidikan dayah di Aceh dewasa ini adalah hadirnya Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh yang lahir lewat Qanun no 5 tahun 2008. Badan ini diharapkan mempercepat pembangunan lembaga pendidikan dayah menuju arah yang dicita-citakan bersama. BPPD adalah kunci sukses pembangunan dayah oleh pemerintah. Maka BPPD harus benar-benar dimaksimalkan untuk kemajuan pendidikan dayah di Aceh. 

Secara umum, tujuan pemerintah dan para ulama mendirikan BPPD adalah untuk pemberdayaan dayah secara maksimal, dari aspek administrasi, kualitas, manajemen maupun dana. Jika demikian, seharusnya dengan adanya BPPD maka dayah-dayah di Aceh akan semakin kuat bidang dana, administrasi, manajemen maupun secara kualitas. Lalu kenyataan sekarang bagaimana? Untuk menjawab pertanyaan ini secara tuntas memang harus dilakukan penelitian secara mendalam. Dan lewat makalah ini penulis akan mengupas sedikit fenomena ketimpangan krusial di BPPD yang harus segera dibenahi demi susksesnya agenda memajukan pendidikan dayah di Aceh. 

Kondisi Kekinian 

Dari berbagai diskusi yang kami adakan serta dari amatan penulis sendiri, BPPD memiliki catatan krusial yang harus segera dibenahi. Pertama, BPPD belum melayani dayah dengan ikhlas tanpa pamrih. Saya pernah mendengar banyak keluhan pihak dayah yang bantuan untuk dayah disunat oleh personil-personil di BPPD. Misalnya seperti bantuan untuk dayah dari dana aspirasi anggota dewan. Kedua, BPPD belum dibentuk di setiap kabupaten. Ini akan menyulitkan kalangan dayah karena tentu akan sangat merepotkan kalangan dayah jika semua urusan dayah harus dibawa ke Banda Aceh. 

Ketiga, pegawai BPPD masih kurang kapasitasnya. Dalam catatan kami, banyak tenaga survey yang memferifikasi dayah dari BPPD tidak memahami tentang dayah. Begitu juga, pegawai-pegawai di BPPD yang banyak diantaranya adalah pegawai pindahan dari dinas/instansi lain tanpa target yang jelas untuk berfikir bagi kemajuan dayah. Mereka membawa semangat lama di tempat bekerja sebelumnya. Ini menyebabkan ide-ide pembangunan dayah sulit diterima kalangan dayah. Idealnya pegawai-pegawai di BPPD adalah tenaga-tenaga pilihan yang memahami dayah dan memiliki konsep pembangunan dayah. Mereka harus menjemput data-data dayah ke lokasi, seperti data-data dayah dan balai pengajian yang aktif untuk diberikan bantuan. Jangan justru menunggu proposal di kantor. Pegawai BPPD juga harus Islami, seperti pegawai perempuan, harus menjaga etika dan kesopanan dalam berbusana karena yang mereka layani adalah ulama-ulama dan teungku-teungku yang tidak lain adalah panutan masyarakat di daerahnya. 

Keempat, tidak ada staff ahli yang menjadi thinktank pembangunan dayah. Efeknya, menurut pengakuan salah satu anggota Bappeda dalam suatu acara diskusi penysunan RPJM Aceh 2012-2017 di Bappeda bulan lalu, Renstra BPPD hanya copypaste dari Rentsra Dinas Pendidikan Aceh. Ini tentu sesuatu yang sangat memalukan dan merugikan dayah-dayah di Aceh. Kelima, BPPD belum mampu menjalain relasi dan kerjasama yang baik dengan Ormas-ormas berbasis santri dalam upaya memajukan kualitas santri dayah. Padahal, kerjasama ini akan memperkuat posisi BPPD dalam meningkatkan kapasitas santri dayah dalam berbagai aspek keilmuan kontemporer, karena tentu saja BPPD tidak bisa meng-heandle semua agenda pembangunan dayah. 

Kondisi Ideal 
Semua catatan-catatan di atas tidak terlepas dari visi dan misi seorang pimpinan. Maka, jika memang pemerintah Aceh serius ingin membangun lembaga pendidikan dayah menuju kejayaannya, membenahi BPPD adalah hal yang mutlak dan mendesak. BPPD idealnya mampu melayani dayah-dayah di Aceh dengan ikhlas, kualitasnya pelayanan dan stafnya yang memiliki kapasitas. Mampu membangun komunikasi dengan seluruh Organisasi santri atau yang berbasis santri dalam upaya sharing ide-ide pembangun dayah. BPPD juga harus diisi oleh orang-orang yang mengerti tentang dayah dan memiliki konsep pembangunannya.  

Dan yang pertama harus dilakukan adalah memilih Kepala BPPD yang memiliki kapasitas, memahami tentang dayah dan memiliki konsep pembangunannya. Kepala BPPD tidak boleh seorang birokrat murni yang menjadikan program pembangunan dayah sekedar sebagai proyek-proyek rutinitas untuk menghabiskan anggaran tahunan saja, tapi juga seorang pemikir, konseptor. Jika catatan-catatan di atas tidak segera dibenahi, kami khawatir suatu saat image dayah akan tercoreng. Sebab, dengan alasan berbagai bantuan sudah diberikan pemerintah untuk dayah, sebagian orang pasti akan berfikir kenapa dayah tidak juga maju. Maka membenahi BPPD adalah kunci suksesnya pembangunan dayah. 

Rekomendasi Arah Kebijakan 

1. Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) yang akan diangkat oleh Gubernur dan wakil Gubernur Aceh yang baru harus memiliki kapasitas, memahami pendidikan secara umum dan pendidikan dayah secara khusus. 

2. Ulama harus diberikan peran dalam mengawal dan mengontrol kinerja BPPD. 

3. BPPD harus menjalin kerjasama dengan Organisasi santri atau yang berbasis santri dalam upaya mencari format ideal peningkatkan kualitas santri dayah di Aceh. 

4. BPPD harus melayani dayah dengan jalan menjemput data dayah ke lapangan dan mengumumkannya di media massa, sehingga dayah-dayah yang belum dimasukkan bisa terbaca oleh public, begitu juga dayah-dayah fiktif niscaya juga akan terdeteksi. 

5. BPPD harus diisi oleh pegawai-pegawai yang sopan santun, berbusana Islami, memiliki kapasitas, memahami tentang pendidikan 
6. Kinerja BPPD harus senantiasa di evaluasi oleh lembaga independen yang berbasis dayah atau oleh organisasi santri dayah 





Penulis adalah Ketua Dept. Riset dan Pengembangan Organisasi Rabithah Thaliban Aceh (RTA)

Membenahi Badan Dayah

Ulama Dayah: Jika Bayar dengan Uang, Zakat Fitrah Tidak Boleh Diukur dengan Harga Beras - Serambi Indonesia